Budaya bengkulu

6 Budaya Bengkulu: Peninggalan Berharga yang Tetap Relevan di Masyarakat Modern

Berita Terkini Blogging Indonesia

Provinsi Bengkulu merupakan kawasan yang kaya akan keberagaman budaya Bengkulu dan tradisi yang telah menjadi warisan berharga dari masa lalu. Dalam keberagaman ini terkandung makna dan nilai-nilai yang memberikan pelajaran berharga bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, mari kita bersama-sama menjelajahi dan mengulas kembali kekayaan budaya yang ada, terutama di wilayah Provinsi Bengkulu dan daerah sekitarnya. Tujuannya adalah agar kita dapat mengeksplorasi nilai-nilai ini dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah beberapa budaya khas Provinsi Bengkulu yang hingga saat ini tetap dilestarikan dengan bangga.

1. Kain Besurek: Simbol Akulturasi Budaya Bengkulu yang Masih Memesona

Kain besurek, dengan motifnya yang menggabungkan unsur bahasa Arab, budaya lokal, dan elemen alam, merupakan representasi nyata dari akulturasi budaya Bengkulu yang kaya. Keberadaannya mulai mencuat pada tahun 2015, dan istilah “besurek” sendiri berasal dari dialek Melayu yang merujuk pada tulisan, terutama dalam konteks kaligrafi Arab yang khas. Kain besurek menjadi wujud penghormatan terhadap Tuhan, medium dakwah Islam, dan juga ungkapan cinta terhadap warisan budaya serta keindahan alam.

Terdiri dari tujuh macam motif, kain besurek mencakup kaligrafi Arab, rembulan, kembang melati, burung kuau, pohon hayat dengan kombinasi kembang cengkih dan kembang cempaka, serta perpaduan relung paku dan burung punai. Bahan utama kain ini adalah katun dan sutra, dengan warna dominan yang cenderung merah kecoklatan atau merah manggis. Awalnya digunakan dalam berbagai upacara adat, seperti penutup kepala bagi raja penghulu, selama acara cukur bayi, dan sebagai penutup jenazah. Selain itu, juga digunakan dalam upacara pernikahan.

Kini, penggunaan kain besurek telah melampaui batasan upacara adat dan telah menjadi bagian dari fashion sehari-hari. Bahkan, pemerintah daerah telah mengadopsi batik besurek sebagai seragam dinas, menjadikannya lebih terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Meskipun demikian, nilai budaya Bengkulu dan seni tradisional yang masih dipertahankan dalam pembuatannya menjadikan kain besurek tetap memiliki daya tarik tinggi, yang membedakannya dari kain sablon modern lainnya.

2. Tabot: Perayaan Tradisional yang Menghormati Sejarah dan Kebenaran

Tradisi Tabot merupakan salah satu perayaan yang diadakan setiap tahun di Bengkulu, dimulai dari tanggal 1 hingga 10 Muharam. Perayaan ini bertujuan untuk mengenang peristiwa penting dalam sejarah Islam, yaitu hari kebangkitan Islam serta mengenang jasa Imam Husein Ali bin Abu Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW. Imam Husein pernah menjadi tawanan tentara Yazid bin Muawiyah di Karbala, Irak, karena tekadnya dalam membela Islam dan menegakkan kebenaran, serta melawan segala bentuk kejahatan. Pesan dari peristiwa ini adalah bahwa kebenaran harus ditegakkan dengan tegas, karena jika tidak, kebatilan akan menguasai.

Awalnya, tradisi Tabot dibawa oleh para pekerja Islam Syiah dari Madras dan Bengali, India bagian selatan, yang bekerja di bawah pengawasan Tentara Inggris saat pembangunan Benteng Marlborough. Secara etimologi, kata “Tabot” berasal dari bahasa Arab yang berarti “tabut.” Ritual Tabot menjadi semacam pedoman bagi masyarakat untuk tetap bersemangat, dengan pengertian bahwa setiap tindakan baik akan membawa kebaikan.

Pelaksanaan tradisi Tabot melibatkan serangkaian upacara adat dan diakhiri dengan prosesi arak-arakan bangunan yang dihias dengan indah, yang dikenal sebagai “tabot,” yang ditemani oleh musik dol (alat musik tradisional budaya Bengkulu). Yang menarik, pemerintah menggelar festival setiap kali tradisi Tabot berlangsung, mengundang wisatawan untuk datang berkunjung dan menjadikannya sebagai ajang silaturahmi antar keluarga serta masyarakat yang jauh.

3. Dol: Alat Musik Tradisional yang Membangkitkan Semangat

Budaya bengkulu

Dol adalah salah satu instrumen musik yang digunakan sebagai pengiring dalam perayaan Tabot dan acara besar lainnya di budaya Bengkulu. Dol ini mirip dengan beduk dalam hal bentuk, tetapi memiliki ukuran yang lebih kecil. Alat ini terbuat dari bonggol pohon kelapa yang telah dilubangi dan diberi lapisan kulit kerbau atau lembu. Pemukul dol terbuat dari kayu yang dilapisi kain.

Dol sering dihias dengan corak yang menarik, dan ukurannya cukup besar serta ringan. Hal ini membuat dol dapat dimainkan oleh berbagai kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Keterampilan memainkannya dimiliki oleh beragam usia, dari yang muda hingga yang tua. Oleh karena itu, upaya untuk melestarikan dol menjadi sangat penting agar alat musik ini tetap ada dan berkembang.

Dengan suara gemuruh yang kencang, dol mampu membangkitkan semangat mereka yang berada di sekitarnya. Sensasi ini menjadikan dol berbeda dari instrumen musik lainnya. Dahulu, dol hanya dimainkan oleh garis keturunan tertentu, khususnya orang Bengkulu keturunan India atau yang dikenal sebagai “sipai.” Namun, saat ini, semua orang diberi kesempatan untuk mencoba memainkan dol.

4. Kesenian Sarafal Anam: Seni untuk Memperingati Perkawinan dan Aqiqah

Kesenian Sarafal Anam merupakan seni yang digunakan dalam acara perkawinan dan aqiqah oleh suku Lembak, termasuk di wilayah Lebong, Bengkulu Tengah, dan Kota Bengkulu. Awalnya, Sarafal Anam diperkenalkan oleh Syech Serunting, seorang ulama dari Banten, sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Sejak saat itu, H. Wajid Bin Raud, seorang masyarakat asli suku Lembak, menjadi tokoh yang dihormati dan dipercayai dalam menerima serta mewariskan tradisi Sarafal Anam secara turun temurun.

Kesenian ini menggabungkan seni vokal dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an dan syair-syairnya, menciptakan perasaan kedamaian dan ketenangan hati. Kesenian ini bertujuan untuk memuji segala berkah yang diberikan oleh Allah SWT, sebagai bentuk doa dan ungkapan syukur dari hamba kepada Tuhan mereka. Selain itu, Sarafal Anam juga memiliki nilai sosial yang penting, seperti mempromosikan kebersamaan dan gotong royong di antara sesama, melibatkan sejumlah pria yang berkumpul untuk berzikir.

Dalam pertunjukan Sarafal Anam, syair-syair Melayu dinyanyikan dengan melantunkan syair Bisyarih dan Tanakal (syair Arab), diiringi oleh alat musik rebana. Para pemain harus mengikuti ajaran Islam dengan mengenakan kopiah, pakaian muslim, dan kain sarung. Tradisi ini diperuntukkan khusus bagi kaum pria, mengingat peran pemimpin dalam memimpin doa untuk masyarakat mereka.

5. Kerajinan Kulit Lantung: Kreativitas dan Nilai Sejarah dalam Produk Unggulan Budaya Bengkulu

Budaya bengkulu

Provinsi Bengkulu, dengan kekayaan alamnya yang tak tertandingi, telah membuktikan dirinya sebagai pusat kreativitas yang menghasilkan berbagai kerajinan tangan unik, terutama dari kulit lantung. Proses pembuatan kulit lantung dimulai dengan pengambilan kulit dari pohon lantung, yang kemudian diolah hingga menjadi tipis dengan teknik pemukulan. Pemanfaatan pohon karet dan pohon ibuh telah menciptakan berbagai produk kerajinan, seperti tas, dompet gantungan, celengan, bingkai foto, dan perabotan rumah lainnya. Namun, kerajinan ini bukan sekadar memiliki nilai fungsional, melainkan juga menyimpan sejarah dalam setiap karyanya.

Sejarah kulit lantung sebagai bahan pakaian sehari-hari bermula pada tahun 1943 saat masa pendudukan Jepang. Kulit lantung digunakan sebagai bahan pembuatan kain Terjajah, yang menjadi simbol perjuangan rakyat Bengkulu melawan penjajah. Masyarakat bdauay Bengkulu pada masa itu tetap gigih bertahan meskipun menghadapi tekanan, kondisi sulit, kelaparan, dan penindasan. Semangat inilah yang mendorong mereka untuk menciptakan kerajinan unik seperti ini. Kreativitas ini tidak akan muncul jika mereka hanya diam dan pasrah. Oleh karena itu, konsistensi dan usaha maksimal dalam membangkitkan potensi yang ada merupakan hal yang sangat penting.

Keunggulan lain dari kerajinan kulit lantung adalah daya tahan produk yang dihasilkan dari getahnya. Masyarakat Bengkulu memandang bahwa getah ini membuat barang-barang tidak mudah rusak, sehingga dapat digunakan dalam jangka waktu yang panjang dan memiliki harga yang ekonomis. Hal ini menjadikan kerajinan ini sebagai pilihan yang menarik bagi ibu rumah tangga yang ingin tampil gaya tanpa perlu mengeluarkan biaya mahal, sementara tetap mendapatkan produk yang indah dan berkualitas.

6. Opai Malem Likua: Tradisi Yang Memadukan Spiritualitas dan Budaya Bengkulu

Tradisi Opai Malem Likua adalah salah satu upacara tradisional yang masih dijaga hingga kini, memadukan elemen serawai dan rejang. Upacara ini dilaksanakan pada malam hari tanggal 27 Ramadan, di mana masyarakat membakar batok kelapa setinggi 1,5 meter. Proses pembakaran ini dilakukan di halaman depan rumah setelah waktu Maghrib. Yang membedakan tradisi ini adalah satu rumah hanya diperbolehkan membakar satu lunjuk batok kelapa, yang merupakan simbolisasi kesucian Allah SWT. Hal ini menekankan bahwa budaya tidak pernah terlepas dari nilai-nilai agama, yang selalu memainkan peran penting dalam budaya Bengkulu.

Tradisi ini, menurut kepercayaan suku serawai dan rejang, merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT dan doa untuk roh-roh yang telah meninggal dunia agar mendapatkan ketenangan. Mereka percaya bahwa pembakaran batok kelapa ini adalah penyambutan bagi kedatangan roh dan sebagai penerangan bagi mereka.

Aroma khas dari pembakaran batok kelapa membuat orang-orang tetap berdekatan dan merasa nyaman. Tradisi Opai Malem Likua menjadi momen penting untuk berkumpul bersama keluarga, menikmati kenikmatan malam, serta menghormati tradisi leluhur mereka dengan penuh kebahagiaan dan spiritualitas.